Minggu, 30 Maret 2014

Makalah Leasing dalam Perspektif Islam



“LEASING DALAM PERSPEKTIF ISLAM”
Dosen Pengampu : H. Ahmad Khumaidi Ja’far, S.Ag., M.H.
(Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqh Mu’amalah II)

Disusun Oleh :
Muhammad Nurdin          : 1221040158
Pande Jasa Duhita             : 1221040145
Rista Pesilia                       : 1121040094





Copy of IAIN_Colour



PRODI EKONOMI SYARI’AH
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI RADEN INTAN
LAMPUNG
1434 H/2014

KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr wb.
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga tugas makalah yang berjudul “Leasing dalam Perspektif Islam” dapat terealisasikan dengan baik. Shalawat dan salam senatiasa dipanjatkan kepada junjungan Nabi agung Muhammad SAW sebagai Uswatun Hasanah bagi hidup dan kehidupan kita di muka bumi ini.
Makalah ini merupakan tugas mata kuliah “Fiqh Mu’amalah II yang merupakan inovasi pembelajaran untuk memahami penelitian secara mendalam, dalam hal ini mengenai harta. Semoga makalah ini dapat berguna untuk Mahasiswa pada umumnya.
Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Bp. H. A. Khumaidi Ja’far, S.Ag., M.H. selaku dosen mata kuliah Fiqh Mu’amalah II atas bimbingan dan pengarahannya selama penyusunan makalah ini, serta pihak-pihak yang telah membantu sehingga tugas makalah ini telah terselesaikan.
Penulis juga menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kami sangat membutuhkan  kritik dan saran yang sifatnya membangun dan pada intinya untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan supaya dimasa yang akan datang lebih baik lagi.

Wassalamualaikum wr wb..

                                                           

                                                            Bandar Lampung,  30 Maret 2014



                                                                                    Penulis







DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ...............................................................................         ii
DAFTAR ISI ..............................................................................................         iii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................        
1.1 Latar belakang Masalah ............................................................         1
1.2 Rumusan Masalah .....................................................................         2   
1.3 Tujuan Masalah .........................................................................         2

BAB II PEMBAHASAN ..........................................................................        
2.1. Pengertian Leasing....................................................................         3
2.2  Ketentuan dan Aplikasi mengenai Leasing...............................         5
2.3 Kegiatan Usaha Leasing............................................................         6
2.4 Keuntungan dan Kelemahan Leasing........................................         7
2.5 Tijauan Hukum Leasing Menurut Syara’...................................         8
2.6 Al-Ijarah Al-Muntahia Bit-Tamlik.............................................         13
2.6.1 Manfaat dan Risiko yang harus Diantisipasi....................         14
2.6.2 Bentuk al-ijaroh al-muntahia bit-tamlik...........................        14
2.6.3 Aplikasi dalam Perbankan................................................         15

BAB III PENUTUP ..................................................................................        
       3.1 Kesimpulan ................................................................................         17
       3.2  Saran..........................................................................................         17
DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................        
                                                                                                                                


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG MASALAH
            Dewasa ini, menjadi wirausaha merupakan pilihan alternative bagi para pencari kerja dalam memenuhi tuntutan hidup. Usaha tersebut bisa diciptakan dalam bentuk industry rumah tangga (home industry), industry kecil menengah (mikro), maupun perusahaan dalam skala makro. Namun, minat menjadi wirausaha kerap kali terbentur dengan masalah modal pengadaan alat, sarana prasarana usaha yang terbilang tidak kecil ongkosnya.
            Demikian pula sifat konsumtif yang merebak di kalangan masyarakat dalam memenuhi hajat hidupnya, membuat mereka menempuh beberapa jalan yang sebenarnya tidak diperkenankan oleh syara’, bahkan merugikan mereka di kemudian hari. Salah satu jalan tersebut adalah financial lease atau yang sering disebut leasing untuk mendapatkan modal usaha atau  hanya sekedar memenuhi kebutuhan kerja (seperti membeli mobil, sepeda motor, dsb). Ketika mereka terjebak dalam situasi yang sulit, sehingga tidak bisa membayar uang cicilan, akhirnya barang/modal yang semula diharapkan memberi keuntungan malah raib diambil kembali oleh pihak bank/ perusahaan leasing.
            Bank Syariah yang memiliki misi mewujudkan keadilan dan kesejahteraan ekonomi sosial, memiliki peran strategis dalam menanggapi permasalahan tersebut. Dengan berpedoman pada nilai-nilai Islam, Bank Syariah memberikan alternative terhadap praktik-praktik ekonomi yang dilarang oleh syariat, namun sudah menjadi budaya dan kebutuhan masyarakat. Salah satunya adalah alternative bank syariah terhadap transaksi leasing.
Leasing secara global ada dua, yaitu operating lease dan financial lease. Operating lease adalah menyewa suatu barang untuk mendapatkan manfaat barang yang disewa, sedangkan kepemilikan barang tetap di tangan pemberi sewa.
Adapun financial lease merupakan suatu bentuk sewa dimana kepemilikan barang berpindah dari pihak pemberi sewa kepada penyewa. Bila dalam masa akhir sewa pihak penyewa tidak dapat melunasi sewanya, barang tersebut tetap milik pemberi sewa (perusahaan leasing), akadnya dianggap sebagai akad sewa. Sedangkan bila pada masa akhir sewa pihak penyewa dapat melunasi cicilannya, barang tersebut menjadi milik penyewa. Biasanya pengalihan pemilikan ini dengan alasan hadiah pada akhir penyewaan, pemberian cuma-cuma, atau janji dan alasan lainnya. Intinya, dalam financial lease terdapat dua proses akad sekaligus : sewa sekaligus beli. Dan inilah sebabnya mengapa leasing bentuk ini disebut sebagai sewa-beli. Istilah leasing, pada umumnya diartikan masyarakat sebagai financial lease atau sewa-beli ini (MR. Kurnia, Hukum Seputar Leasing, 1999).
Leasing dalam arti financial lease (sewa beli) adalah akad yang batil, karena bertentangan dengan sabda Rasulullah SAW yang melarang terjadinya dua akad berbeda dalam satu akad. Imam Ahmad meriwayatkan bahwa “Rasulullah SAW melarang (kaum muslimin) dua perjanjian dalam satu perjanjian“ (nahaa rasulullah ‘an shafqatain fi shaqatin) (Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhsyiah Al-Islamiyah, II/263-264).
Syaikh An-Nabhani menafsirkan, bahwa makna hadits tersebut ialah Rasulullah SAW melarang adanya dua akad pada satu akad saja (wujuudu ‘aqdain fi aqdin wahidin). Syaikh An-Nabhani mencontohkan dua akad dalam satu akad, misalnya seseorang berkata, “Saya menjual motor ini kepada Anda dengan harga 10 juta rupiah dengan cicilan selama 2 tahun, tetapi bila di tengah jalan Anda tidak dapat melunasinya, maka barang tersebut tetap menjadi milik saya dan uang yang telah Anda berikan kepada saya dianggap uang sewa selama Anda menggunakannya.”
Di dalam muamalah ini sesungguhnya terdapat dua akad sekaligus, yaitu akad jual-beli sekaligus akad sewa dalam satu akad saja. Semua ini bertentangan hadits Rasulullah.
1.2  RUMUSAN MASALAH
  1. Apakah Pengertian Leasing?
  2. Bagaimana Hukum Leasing Menurut Syara’?
  3. Bagaimana Alternatif Leasing dalam Perbankan Syariah?
1.3 TUJUAN MASALAH
1.      Memahami leasing dalam perspektif Islam
2.      Mengetahui dasar hukum  mengenai leasing, baik dalam Sumber Islam maupun per Undang-undangan
3.      Mengetahui penerapan leasing dalam praktik kehidupan sehari-hari


BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Leasing
            Istilah leasing berasal dari kata lease yang berarti sewa-menyewa. Dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, leasing diistilahkan “sewa guna usaha”. Dalam Kepmenkeu No. 1169/KMK.01/1991 tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha (Leasing) disebutkan bahwa sewa guna usaha adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal (misal mobil atau mesin pabrik) selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala.[1]
            Secara umum leasing berarti equipment funding, yaitu pembiayaan peralatan/barang modal untuk digunakan pada proses produksi suatu perusahaan baik secara langsung maupun tidak langsung. Leasing juga berarti pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barang modal dengan pembayaran secara berkala oleh perusahaan yang menggunakan barang modal tersebut, dan dapat membeli atau memperpanjang jangka waktu berdasarkan nilai sisa.[2] Perjanjian  leasing tidak hanya sebatas suatu  kontrak atau persetujuan sewa yang obyeknya berupa barang modal, dan pihak lessee memiliki hak opsi dengan harga berdasarkan nilai sisa, namun lebih kompleks, karena dalam  leasing dapat timbul hak beli, dan hal ini sangat  mendekati transaksi jual beli aktiva angsuran dan dapat pula seperti sewa menyewa biasa. Leasing memiliki sejarah yang cukup panjang.
            Meskipun tidak diketahui secara pasti, namun diyakini kegiatan transaksi leasing ini telah terjadi sejak tahun 2000 SM yang dilakukan oleh orang-orang Sumeria. Sesuai dengan dokumen, pada awalnya transaksi leasing dilakukan oleh orang-orang Sumeria yang dimulai dari peralatan pertanian, hak-hak penggunaan tanah dan air sampai binatang ternak. Pada awalnya leasing merupakan usaha pembiayaan peralatan, pertanahan dan peternakan.
Seiring dengan perkembangan industri, manufaktur dan transportasi menjadikan bertambahnya obyek leasing di Inggris. Di samping di Inggris, praktek pembiayaan dengan menggunakan leasing di Amerika juga telah mulai dikenal sejak tahun 1970-an. Praktek leasing di Amerika tumbuh dengan pesatnya setelah adanya pembangunan rel kereta api, yang rata-rata pembiayaannya dilakukan dengan cara leasing. Selanjutnya kegiatan usaha leasing menyebar ke berbagai negara dengan pesatnya setelah tahun 1950-an, khususnya di Eropa dan Amerika.[3]
            Dalam realitasnya, leasing merupakan suatu akad untuk menyewa sesuatu barang dalam kurun waktu tertentu. Kegiatan leasing ini ada dua katagori  global, sebagaimana yang dijelaskan dalam Kepmenkeu No 1169/KMK.01/1991 yaitu operating lease dan financial lease. Operating lease merupakan suatu proses menyewa suatu barang untuk mendapatkan hanya manfaat barang yang disewanya, tidak terjadi pemindahan kepemilikan (transfer of title) asset, baik di awal maupun di akhir periode sewa. Sewa jenis pertama ini berpadanan dengan konsep ijarah di dalam syariah.[4]
            Adapun financial leasse merupakan suatu bentuk sewa dimana di akhir periode sewa si penyewa diberikan pilihan untuk membeli atau tidak membeli barang yang disewakan. Namun, dalam  prakteknya (khususnya di Indonesia) sudah tidak ada hak opsi karena sudah “dikunci” di awal periode. Sehingga jenis akadnya menjadi ganda, yakni bila dalam masa akhir sewa pihak penyewa tidak dapat melunasi sewanya, barang tersebut tetap merupakan milik pemberi sewa (perusahaan leasing). Akadnya dianggap sebagai akad sewa. Sedangkan bila pada masa akhir sewa pihak penyewa dapat melunasi cicilannya maka barang tersebut menjadi milik penyewa. Intinya, dalam financial lease terdapat dua proses akad sekaligus : sewa sekaligus beli. Dan inilah sebabnya mengapa leasing bentuk ini disebut sebagai sewa-beli.[5]
2.2 Ketentuan dan Aplikasi Mengenai Leasing
            Kegiatan leasing secara resmi diperbolehkan beroperasi di Indonesia setelah keluar surat keputusan bersama antara Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian, dan menteri perdagangan Nomor Kep. 122/MK/IV/2/1974 Nomor 32/M/SK/2/74 dan Nomor 30/Kbp/1/74 tanggal 1 Februari Tentang Perizinan Usaha Leasing di Indonesia.
            Wewenang untuk memberikan usaha leasing dikeluarkan oleh Menteri Keuangan berdasarkan Surat Keputusan Nomor 649/MK/IV/5/1974 tanggal 6 Mei 1974 yang mengatur mengenai ketentuan tata cara perizinan dan kegiatan usaha leasing di Indonesia. Perkembangan selanjutnya adalah dengan  keluarnya Kebijaksanaan Deregulasi 20 Desember 1988 (Pakdes) yang mengatur tentang usaha leasing, merevisi ketentuan sebelumnya. Kemudian dalam Keppres No. 61 Tahun 1988 dan Keputusan Menteri Keuangan nomor 1251/KMK.013/1988 Tanggal 20 Desember 1988. Adapun landasan terkini adalah Keputusan Menteri Keuangan No. 1169/KMK.01/1991 tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha (Leasing).
Pihak-Pihak yang terlibat dalam transaksi Leasing :
  1. Lessor, merupakan perusahaan leasing yang membiayai keinginan nasabahnya untuk memperoleh barang modal
  2. Lessee, yaitu nasabah yang mengajukan permohonan leasing kepada lessor untuk memperoleh barang modal yang diinginkan
  3. Supplier, yaitu pedagang yang menyediakan barang yang akan dileasingkan sesuai perjanjian antara lessor dengan lease. Dalam hal ini supplier juga dapat dapat bertindak sebagai lessor.
  4. Asuransi, merupakan perusahaan yang akan menanggung resiko terhadap perjanjian antara lessor dan lessee.[6]
Transaksi leasing yang biasa terjadi adalah sebagai berikut (misal leasing motor): seorang (misal fulan) datang ke lembaga pembiayaan dan ingin membeli motor secara kredit karena tak punya uang tunai. Lembaga pembiayaan membeli motor dari suplier/dealer motor, lalu dilakukan akad leasing antara lembaga pembiayaan dengan Fulan misalnya dalam jangka waktu tiga tahun. Dalam akad leasing itu terdapat fakta transaksi sebagai berikut:
Pertama, lessor (lembaga pembiayaan) sepakat setelah motor itu dia beli dari dealer/suplier, dia sewakan kepada lessee selama jangka waktu tiga tahun. Kedua, lessor sepakat setelah seluruh angsuran lunas dibayar dalam jangka waktu tiga tahun, lessee (Fulan) langsung memiliki motor tersebut. Ketiga, menurut fakta leasing yang ada, selama angsuran belum lunas dalam jangka tiga tahun itu motor tetap milik lessor. Keempat, motor itu dijadikan jaminan secara fudisia untuk leasing tersebut. Karena itu BPKB motor itu tetap berada di tangan lessor hingga seluruh angsuran lunas. Konsekuensinya jika lessee (Fulan) tidak sanggup membayar angsuran sampai lunas, motor akan ditarik oleh lessor dan dijual.[7]
Adapun biaya-biaya yang dibebankan kepada lessee biasanya terdiri dari:
  1. Biaya administrasi yang besarnya dihitung per tahun
  2. Biaya material untuk perjanjian
  3. Biaya bunga terhadap barang yang dileasekan
  4. Premi asuransi yang disetorkan kepada pihak asuransi[8]
2.3 Kegiatan Usaha Leasing
            Kegiatan-kegiatan yang dilakukan antara satu perusahaan leasing dengan perusahaan leasing lainya dapat berbeda. Di dalam surat keputusan menteri keuangan no.1169/KMK.01/1991 tanggal 21 november 1991, kegiatan leasing dapat dilakukan dengan dua cara,yaitu :
1.      Melakukan sewa guna usaha dengan hak opsi bagi lessee (finance lease);
2.      Melakukan sewa guna usaha dengan tanpa hak opsi bagi lessee (operating lease)
Ciri-ciri kegiatan leasing seperti yang dimaksud di atas adalah sebagai berikut.
1.      Kriteria untuk finance lease  apabila suatu perusahaan leasing memenuhi persyaratan :
a.       Jumlah pembayaran sewa guna usaha dan selama masa sewa guna usaha pertama kali,ditambah dengan nilai sisa barang yang di lease harus dapat menutupi harga perolehan barang modal barang yang dileasekan dan keuntungan bagi pihak lessor.
b.      Dalam perjanjian sewa guna usaha memuat ketentuan mengenai hak opsi bagi lessee.
2.      Sedangkan kinerja untuk operating leasse adalah memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a.       Jumlah pembayaran selama massa leasing pertama tidak dapat mennutupi harga perolehan barang modal yang dileasekan ditambah keuntungan bagi pihak leasor
b.      Di dalam perjanjian leasing tidak memuat mengenai hak opsi bagi lessee
Kemudian dalam praktiknya transaksi finance leasing dibagi lagi kedalam bentuk-bentuk sbb:

1.      Direct finance lease
            Transaksi ini dikenal dengan nama true lease dimana didalam transaksi ini pihak lessor membeli barang modal atas permintaan lessee dan sekaligus menyewagunakan barang tersebut kepada lessee. Lessee dapat menentukan spesififkasi barang yang diinginkan termasuk penentuan harga  dan suppliernya. Oleh kaena itu proses pembelian yang dilakukan lessor hanya untuk memenuhi kebutuhan pihak lessee.
2.      Sales dan lease back
                        Proses ini dilkukan dimana pihak lessee menjual barang modalnya kepada lessor untuk dilakukan kontrak sewa guna usaha atas barang tersebut.antara lessee dan lessor.metode ini biasanya digunaka untuk menambah modal kerja pihak lessee.
Sedangkan operating lease dimana pihak lessor sengaja membeli barang modal untuk kemudian dileasekan kepada pihak lessee.biaya yang dikenakan terhadap lessee adalah biaya yang dikenakan untuk memperoleh barang yang dibutuhkan oleh lessee berikut bunganya.[9]

2.4 Keuntungan dan Kelemahan Leasing
                        Leasing sebagai alternative pembiayaan memiliki beberapa keuntungan dibandingkan dengan sumber pembiayaan lainnya, antara lain :[10]
a.       Menghemat modal
                        Dengan adanya sistem pebiayaan dari leasing, maka lessee dapat mendapatkan dana untuk membeli barag modal hingga sebesar 100% dari harga barang tersebut seingga lessee dapat memanfaatkan modal yang sudah ada untuk keperluan lain.
b.      Fleksibel merupakan ciri utama bagi kelebihan leasing dibandingkan kredit dari bank,baik fleksibel dari sisi struktur kontraknya,besarnya pembayaran rental,jangka waktu pembayaran,serta nilai residunya.
c.       Dokumentasi Sederhana
Leasing biasanya menggunakan dokumentasi yang sudah standar.hal ini menjadikan lessee lebih simple dalam melakukan transaksi leasing.
d.      Pembiayaan proyek berskala besar
Adanya keengganan untuk memikul resiko investasi dalam pembiayaan yang sering kali  menjadi masalah diantara pembarian dana,biasanya dapat diatasi melalui perusahaan leasing sepanjang tersedianya suatu jaminan penuh yang dapat diterima serta kemudahan untuk menguasai barang yang dibiayai apabila terjadi suatu kelalaian.
e.       Cara memperoleh barang modal dipermudah
f.       Mengurangi resiko inflasi
g.      Terlindumg dari resiko keusangan atau kemajuan tekhnologi
Dengan memanfaatkan leasing, lessee dapat terhindar dari risiko akibat barang yang disewa tersebut mengalami ketinggalan model dan tekhnologi. Dalam suatu kontrak leasing,objek leasing sering dimasukan dalam perjanjian bahwa barang yang sedang disewa tersebut dapat ditukar dengan barang serupa yang lebih canggih paabila kemudian hari tedapat penemuan-penemuan yang lebih baik daripada produk barang yang sejenis.
Dari beberapa keuntungan tersebut masih banyak lagi keuntungan dari leasing, adapun kerugian dari leasing adalah sbb :
a.       Leasing tidak menguntungkan dalam hal kelebihan uang tunai
b.      Leasing menghilangkan kebanggan pemilik
c.       Leasing mungkin memerlukan biaya yang lebih besar dari pada dengan cara lain
d.      Lessee mungkin menimbulakan kehilangan atas nilai sisa dari barang modal
2.5. Tinjauan Hukum Leasing Menurut Syara[11]
            Jenis Operating Lease atau dalam  istilah muamalah “Ijarah”, dibolehkan oleh syara’ dengan dasar hukum:
1.      Al-Qur’an :
QS. Al-Baqarah 233
وَإِنْ أَرَدْتُمْ أَنْ تَسْتَرْضِعُوا أَوْلادَكُمْ فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُمْ مَا آتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ (٢٣٣)
Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan. (QS.Al-Baqarah: 233)
            Yang menjadi dalil dari ayat  tersebut di atas adalah ungkapan “apabila kamu memberikan pembayaran yang patut”. Ungkapan tersebut menunjukkan adanya jasa yang diberikan berkat kewajiban membayar upah (fee) secara patut. Dalam hal ini termasuk didalamnya jasa penyewaan atau leasing.[12]
2.      Hadits
رَوَاهُ ابْنُ عَبَّاسِ أَنَّ النَّبِيَّ ص.م. احْتَجَمَ وَاَعْطَى الحَجَّامَ أَجْرَهُ (رَوَاهُ أَحْمَد والبخارى ومسلم)
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah saw bersabda, “Berbekamlah kamu, kemudian berilah olehmu upahnya kepada tukang bekam itu (HR. Bukhari Muslim)
3.      Ijma’
Pakar-pakar keilmuan dan cendikiawan sepanjang sejarah diseluruh negeri telah sepakat akan legitimasi ijarah (Mugni Ibnu Qudamah)[13]
            Adapun mengenai jenis Financial Leasing, terdapat beberapa fakta yang menunjukkan keharaman transaksi ini, yaitu:
Pertama, dalam leasing terdapat penggabungan dua akad, yaitu sewa menyewa dan jual beli, menjadi satu akad (akad leasing). Padahal syara’ telah melarang penggabungan akad menjadi satu akad. Ibnu Mas’ud RA:                                                 نَهَى رَسُولُ اللَّهِ عَنْ صَفْقَتَيْنِ فِي صَفْقَةٍ وَاحِدَةٍ
“Nabi SAW melarang dua kesepakatan dalam satu kesepakatan (Shafqatain fi shafqatin wahidah)” (HR. Ahmad, Al Musnad, I/398). Menurut Imam Taqiyuddin an Nabhani hadits ini melarang adanya dua akad dalam satu akad, misalnya menggabungkan dua akad jual beli menjadi satu akad, atau akad jual beli digabung dengan akad ijarah. (Al Syakhshiyah Al Islamiyah, II/308).
Kedua, dalam akad leasing biasanya terdapat bunga. Maka harga sewa yang dibayar per bulan oleh lesse bisa jadi dengan jumlah tetap (tanpa bunga), namun bisa jadi harga sewanya berubah-ubah sesuai dengan suku bunga pinjaman. Maka leasing dengan bunga seperti ini hukumnya haram, karena bunga termasuk riba (QS Al Baqarah [2] : 275).
Ketiga, dalam akad leasing terjadi akad jaminan yang tidak sah, yaitu menjaminkan barang yang sedang menjadi obyek jual beli. Imam Ibnu Hajar Al-Haitami berkata, “Tidak boleh jual beli dengan syarat menjaminkan barang yang dibeli.: (Al Fatawa al Fiqhiyah al Kubra, 2/287). Imam Ibnu Hazm berkata, ” Tidak boleh menjual suatu barang dengan syarat menjadikan barang itu sebagai jaminan atas harganya. Kalau jual beli sudah terlanjur terjadi, harus dibatalkan.” (Al Muhalla, 3/437). Dalam hadits juga disebutkan:
لاَ يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ وَلاَ شُرْطَانُ فِيْ بَيْعٍ، وَلاَ رِبْحٌ مَا لَمْ يُضْمَنْ، وَلاَ بَيْعٌ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ
Tidak halal salaf dan jual beli, tidak halal dua syarat dalam satu jual beli, tidak halal keuntungan selama (barang) belum didalam tanggungan dan tidak halal menjual apa yang bukan milikmu (HR. an-Nasa’i, at-Tirmidzi dan ad-Daruquthni)
Berdasarkan tiga alasan di atas, maka leasing dengan hak opsi (finance lease), atau yang dikenal dengan sebutan leasing saja, hukumnya haram.
Beberapa Persoalan dalam Sewa-Beli
            Merujuk pada kenyataan di atas, nampak bahwa dalam sewa-beli terdapat dua bentuk muamalah yang berbeda dalam satu proses yang bersamaan. Sewa sekaligus beli. Sampai di sini terdapat minimal dua persoalan yang memerlukan kajian, yaitu perbedaan sewa dan beli, serta kedudukan dua akad sekaligus dalam suatu proses muamalah.
Pertama, perbedaan sewa dan beli.Dalam hukum muamalah Islam sangat berbeda antara sewa dengan beli.Sewa (ijarah) merupakan suatu akad untuk mendapatkan suatu manfaat dari barang, jasa, ataupun orang dengan adanya kompensasi tertentu, biasanya berupa uang (‘aqdun ‘alal manfaat bi ‘iwadh).Jadi, pihak penyewa mendapatkan hanya manfaat yang dikandung oleh barang yang disewanya.Adapun barangnya itu sendiri tetap merupakan hak milik pihak pemberi sewa.
Hal ini berbeda sekali dengan jual beli. Secara syar’iy, jual-beli (al bai’) merupakan mubadalatu malin bi malin tamlikan wa tamallukan ‘ala sabilit taradhi, yaitu pertukaran antara suatu barang dengan barang lain (termasuk uang) untuk pertukaran kepemilikan di atas dasar saling meridloi satu sama lain. Berdasarkan hal ini, barang dari pihak penjual akan menjadi milik dari pihak pembeli. Sebaliknya, uang atau barang (bila barter) dari pihak pembeli akan langsung menjadi milik pihak penjual. Proses jual-beli ini, tentu saja, dapat kontan dan bisa pula dilakukan dengan cicilan (kredit). Jelaslah, perbedaan mendasar antara sewa dengan beli terletak pada siapa yang berhak memiliki barang pada akhir masa transaksi.Dengan demikian, akad yang terjadi antara sewa sangat berbeda dengan akad pada jual-beli.Akad sewa berkonsekuensi pada tetap dimilikinya barang oleh pihak pemilik barang, sedangkan pihak penyewa hanya boleh memanfaatkan barang tersebut selama masa penyewaan.Sedangkan akad jual-beli berujung pada pertukaran kepemilikan dari penjual ke pembeli dan dari pembeli ke penjual.
Kedua, Rasulullah SAW melarang dua akad berbeda terjadi dalam satu aktivitas muamalah. “Rasulullah SAW melarang (kaum muslimin) dua akad dalam suatu proses akad tertentu, “ demikian diriwayatkan oleh Imam Ahmad tentang larangan Rasulullah SAW. Hadits ini maksudnya adalah tidak boleh seseorang melakukan dua akad berbeda dalam suatu proses muamalah tertentu. Tidak boleh, misalnya, seseorang menyatakan ‘Saya menjual rumah saya ini kepada Anda dengan syarat Anda menjual rumah Anda yang di Puncak pada saya’, ‘Saya menjual perusahaan ini pada Anda dengan catatan Anda menikahkan putri Anda kepada saya’, atau ‘Saya menjual barang ini dengan harga 10 juta rupiah pada Anda dengan cicilan selama 2 tahun, tetapi bila di tengah jalan Anda tidak dapat melunasinya maka barang tersebut tetap menjadi milik saya dan uang yang telah Anda berikan dianggap sebagai sewa barang selama Anda menggunakannya.’ Di dalam muamalah tadi terdapat dua akad sekaligus, menjual rumahnya sekaligus membeli rumah pembeli rumahnya dalam satu akad, menjual perusahaan sekaligus menikahi putri pembeli perusahaannya dengan hanya satu akad, dan jual-beli sekaligus sewa dalam satu akad tertentu.Semua ini bertentangan dengan sikap Rasulullah SAW tadi.
Berdasarkan hal ini nampaklah bahwa dalam muamalah financial leasing (yang secara umum dikenal dengan istilah ‘leasing’ saja) terdapat dua akad sekaligus dalam satu proses muamalah tertentu.Dan hal ini tidak sesuai dengan titah Rasulullah SAW.Padahal, dalam syariat Islam, bila akad yang terjadi sewa maka tetap berlaku sewa sampai batas akhir waktu penyewaan.Demikian pula, suatu akad jual-beli tetap sebagai jual beli.Andaikan jual-beli itu dilakukan dengan mencicil dan pihak pembeli belum dapat melunasi seluruh utang pembeliannya pada waktu yang telah disepakati, akad tersebut tetap jual-beli dan tidak dapat dialihkan menjadi akad apapun, termasuk diubah menjadi akad sewa.
Selain itu, bila dilihat dari realitasnya, muamalah jenis ini nampak mengunggulkan pemberi sewa (perusahaan leasing) dibandingkan dengan penyewa.Terlebih-lebih bila pihak pembeli merasa mencicil barang dengan harga ‘pembelian’. Di tegah jalan, karena sesuatu hal, ia tidak mampu melunasinya. Akhirnya, barang yang diangankan untuk dimilikinya pada akhir cicilan nanti harus dikembalikan, dan ia hanya menyewa saja. Padahal, tentu saja, harga sewa logisnya lebih kecil dibandingkan dengan harga beli dengan cicilan.
Satu hal lagi, persoalan leasing menjadi bertambah bila dalam cicilannya itu melibatkan riba (bunga). Sebab, Allah SWT memfirmankan : “Dan Allah telah menghalalkan jual beli serta mengharamkan seluruh riba” (QS. Al Baqarah [2] : 275).
Alternatif :
Allah SWT telah menurunkan aturan yang memenuhi rasa keadilan manusia.Kaitannya dengan jual-beli dengan kredit, syariat Islam telah menggariskan apa yang disebut dengan Bai’ Bitsaman Ajil (BBA). Bai’ Bitsaman Ajil merupakan suatu proses perjanjian jual untuk barang tertentu antara pemilik dan pembeli, dimana pemilik barang akan menyerahkan barang seketika, sedangkan pembayaran dilakukan dengan cicilan dalam jangka waktu yang disepakati bersama. Secara ringkas, penjual dan pembeli menyepakati total harga barang tersebut, lama waktu pembayarannya, dan pembayaran tiap bulannya tanpa disertai bunga.                      Sejak terjadi transaksi, barang tersebut resmi menjadi milik pembeli, hanya saja ia menanggung hutang seharga barang tersebut kepada pihak penjual. Untuk berjaga-jaga, dapat ditentukan adanya barang jaminan, termasuk barang yang diperjualbelikan tersebut.Bila pihak pembeli tidak dapat memenuhi kewajiban hutangnya dalam waktu yang disepakati tidak dilakukan penentuan harga ulang (repricing) ataupun pemberian sanksi.Salah satu jalan yang ditempuh adalah barang tadi (bila sebagai jaminan) dijual.Hasilnya, sebagian digunakan untuk melunasi sisa hutangnya dan, bila ada, sisanya diberikan kepada pihak pembeli.
Beberapa aturan Allah SWT menegaskan hal ini, diantaranya :

1. Firman Allah SWT : “Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS. Al Baqarah [2] : 275). Dalam ayat ini kata Al Bai’ bersifat umum.Artinya semua jual beli hukum asalnya halal kecuali ada nash-nash yang menjelaskan keharamannya.
2. Imam Bukhari, Muslim, dan Nasai meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW pernah membeli bahan makanan dari seorang Yahudi dengan hutang dan beliau memberikan baju besinya sebagai jaminan.
     Jadi, ringkasnya, ada beberapa hal dalam leasing yang tidak sesuai dengan syari’at Islam. Oleh karena itu, perlu ada muamalah alternatif yang manfaat dan kegunaannya sama, serta legal menurut syari’at Islam. Alternatif dimaksud adalah al bai’ bid dain (jual-beli dengan hutang) yang salah satu turunannya adalah bai’ bitsaman ajil.[14]
2.6  Al-Ijarah Al-Muntahia Bit-Tamlik (Financial Lease With Purchase Option ) sebagai Alternatif Leasing
            Transaksi yang disebut dengan al-ijaroh al-muntahia bit-tamlilk (IMB) adalah sejenis perpaduan antara kontrak jual beli dan sewa atau lebih tepatnya akad sewa yang diakhiri dengan lepemilikan barang ditangan sipenyewa. Sifat pemindahan kepemilikan ini pula yang membedakan dengan ijarah biasa.[15]
             Ijarah Muntahiyah Bittamlik (financial lease with purchase option) adalah transaksi ijarah yang diikuti perpindahan hak kepemilikan atas barang itu sendiri. IMBT di dalam Fatwa MUI nomor: 27/DSN-MUI/III/2002 diartikan sebagai perjanjian sewa-menyewa yang disertai dengan opsi pemindahan hak milik atas benda yang disewa, kepada Penyewa, setelah selesai masa aqad ijarah. Transaksi IMBT merupakan pengembangan transaksi iajrah untuk mengakomodasi kebutuhan masyarakat, karena IMBT merupakan pengembangan transaksi ijarah, maka ketentuannya mengikuti ketentuan ijarah.
Rukun Ijarah Muntahia bit-Tamlik meliputi penyewa (musta’jir), pemberi sewa (mu’ajir), objek sewa (ma’jur), harga sewa (ujrah), manfaat sewa (manfa’ah) dan ijab qabul (sighat).[16]
Adapun proses perpindahan kepemilikan objek dalam transaksi IMB secara umum dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
  1. Hibah, yakni transaksi ijarah yang diakhiri dengan perpindahan kepemilikan barang secara hibah dari pemilik objek sewa kepada penyewa. Pilihan ini diambil bila kemampuan financial penyewa untuk membayar sewa relatif lebih besar. Sehingga akumulasi sewa di akhir periode sewa sudah mencukupi untuk menutup harga beli barang dan margin laba yang ditetapkan oleh bank
  2. Janji untuk menjual, yakni transaksi ijarah yang diikuti dengan janji menjual barang objek sewa dari pemilik objek sewa kepada penyewa dengan harga tertentu. Pilihan ini biasanya diambil bila kemampuan financial penyewa untuk membayar sewa relatif kecil. Karena sewa yang dibayarkan relatif kecil, maka akumulasi nilai sewa yang sudah dibayarkan sampai akhir periode sewa belum mencukupi harga beli barang tersebut dan margin laba yang ditetapkan oleh bank. Bila pihak penyewa ingin memiliki barang tersebut, maka ia harus membeli barang itu di akhir periode.[17]
2.6.1 Manfaat dan Risiko yang Harus Diantisipasi :
Manfaat dari transaksi al-ijarah al-munthia bit-tamlik untuk bank adalah keuntungan sewa dan kembalinya uang pokok.Adapun resiko yang mungkin terjadi dalam al-Ijarah adalah sebagai berikut:
  1. Default; nasabah tidak membayar cicilan dengan sengaja.
  2. Rusak, asset ijarah rusak sehingga menyebabkan biaya pemeliharaan bertambah, terutama bila disebutkan dalam kontrak bahwa pemeliharaan harus dilakukan oleh bank.
  3. Berhenti; nasabah berhenti di tengah kontrak dan tidak mau membeli asset tersebut. Akibatnya, bank harus menghitung kembali keuntungan dan mengembalikan sebagian kepada nasabah.
2.6.2 Bentuk al-ijarah al-muntahia bit-tamlik
            Al-ijarah al-muntahia bit-tamlik memiliki banyak bentuk, bergantung pada apa yang disepakati kedua pihak yang dalam al-ijarah berkontrak. Misalnya, al-ijarah dan janj mejual; nilai sewa yang mereka tentukan dalam al-ijarah; harga barang dalam transaksi jua; dan kapan kepemilikan dipindahkan.
2.6.3 Aplikasi dalam Perbankan
            Bank-bank Islam yang mengoprasikam prodiuk ijarah dapat melakukan leasing, baik dalam bentuk operating lease maupun financial lease. Akan tetapi, pada umumnya, bank-bank tersebut lebih banyak menggunakan al-ijarah al-muntahia bit-tamlik karenalebih sederhana dari sisi pembukuan. Selain itu, bank pun  tidak direpotkan untukmengurus pemeliharaan aset, baik pada saat leasing maupun sesudahnya.
Secara umum, aplikasi perbankan dari al-ijarah dapat digambarkan dalam skema berikut ini.[18]
OBJEK
WISATA
NASABAH
PENJUAL SUPLIER




 

BANK
SYARIAH
                                                                                                                                                      

Perbedaan antara leasing konvensional dan Ijarah Muntahia Bittamlik:[19]
a.      Bidang Aset/Obyek
IMBT :     
Aset selama masa sewa menjadi pemilik Bank/ muajjir
Bank/muajjir tetap menjadi pemilik aset setelah masa sewa berakhir, jika nasabah tidak bersedia membuat akad pemindahan kepemilikan (dengan jual beli/hibah).
Konvensional :
Sama seperti dalam financial lease nasabah membeli aset dari supplier dengan dana pembiayaan dari bank dan asset langsung dicatatkan atas nama nasabah.
Aset kemudian dikontruksikan sebagai milik Bank ( karena dibeli dengan uang Bank) dan Bank menyewakannya kepada nasabah.
b.      Aqad/Perjanjian
IMBT :

perjanjian menggunakan dengan satu akad dan satu wa’ad.(akadnya ijarah/sewa) dan wa’adnya jual beli atau hibah) yang akan ditandatangani setelah ijarah berakhir( jika nasabah menghendaki), maka perlu dilampirkan konsep perjanjian jual beli/hibah. Juga  dilampirkan konsep kuasa kepada bank untuk menjual aset jika pada akhir masa ijarah nasabah tidak menginginkan aset.
Konvensional :
sewa dan jual beli menjadi satu kesatuan dalam satu  perjanjian.
c.       Perpindahan Kepemilikan Objek
IMBT :
Bank/Muajjir dianggap pemilik dari obyek yang disewakan logikanya banklah yang membeli barang dari suplier. Dan nasabah untuk membeli barang atas surat kuasa dari bank
Konvensional :
Dalam financial lease tidak mengkontruksikan bahwa lessorlah yang membeli barang dari suplier.





BAB III
PENUTUP
3.  1 KESIMPULAN
            Leasing merupakan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal (misal mobil atau mesin pabrik) yang dibayar selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala. Bentuk kegiatan leasing dibedakan menjadi dua, yaitu operating lease (yakni sewa beli tanpa hak opsi) dan financial lease (sewa beli dengan hak opsi. Operating lease dalam istilah fiqih sama dengan ijarah, sedangkan praktik financial lease yang sudah disesuaikan dengan criteria syara’ dinamakan al-Ijarah Muntahia bit Tamlik (IMBT).
             Berdasarkan praktik dan realitanya dalam kehidupan sehari-hari, financial lease menunjukkan keharaman transaksi, dan para ulama sepakat financial lease (leasing konvensional) hukumnya haram.  
            IMBT  memiliki alternative dalam  pemindahan hak milik di akhir periode sewa, yakni hibah, atau janji menjual. Pilihan hibah diambil ketika penyewa mampu membayar uang sewa dalam jumlah besar. Kalau kemampuan penyewa hanya bisa membayar dalam jumlah kecil, pilihan jual beli menjadi solusinya.
3.2 SARAN
Demikian makalah ini disusun. Terima kasih atas antusias dari pembaca yang telah sudi menelaah dan mengimplementasikan isi makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini. Tetapi kami telah berusaha untuk menelaah tentang materi ini.  Penulis banyak berharap para pembaca untuk memberikan saran dan kritik konstruktif kepada penulis demi kesempurnaan makalah ini dan makalah dikesempatan berikutnya yang akan membawa kepada suatu kebenaran. Karna sesungguhnya kesempurnaan itu hanya milik Allah swt. Semoga makalah ini berguna bagi kita semua dan khususnya bagi para pembaca yang dirahmati Allah SWT. Amin

DAFTAR PUSTAKA
Adiwarman Karim, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan. IIIT Indonesia, Jakarta, 2003, h. 111
Agus Waluyo Nur, Sistem Pembiayaan Leasing di Perbankan Syariah, Jurnal Ekonomi Islam La Riba, 2007
Hasbi Ramli. Toeri Dasar Akutansi Syariah. (Jakarta:Renaisan 2005), hal,63
Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2002, h. 260
M Shiddiq Al Jawi, Hukum Leasing: Media Umat edisi 77. http:// al-khilafah.org
M. Syafi’I Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Gema Insani, Jakarta, 2001, h. 118
Nasrulloh, Akad Ijarah Muntahia Bittamlik dalam Perspektif Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah
Slamet Wiyono, Cara Mudah Memahami Akuntansi Perbankan Syariah Berdasarkan PSAK dan PAPSI, PT. Grasindo, Jakarta, 2005, h. 46


[1] Salinan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia no: 1169/KMK.01/1991 tentang Sewa Guna Usaha (Leasing) Bab I pasal 1.
[2]Ainun Naim. Akuntansi Keuangan 2. Yogyakarta: BPFE. 1992. hlm. 150.

[3] Agus Waluyo Nur, Sistem Pembiayaan Leasing di Perbankan Syariah, Jurnal Ekonomi Islam La Riba, 2007
[4] Adiwarman Karim, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan. IIIT Indonesia, Jakarta, 2003, h. 111
[6] Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2002, h. 260

[7]M Shiddiq Al Jawi, Hukum Leasing: Media Umat edisi 77. http:// al-khilafah.org
 [8]Kasmir, Op.Cit. h. 264
[9]Ibid,hlm 245-246
[10]Op CIt,Veithzal,dkk.hlm395-397
 [11] M. Syafi’I Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Gema Insani, Jakarta, 2001, h. 118

[12] Hasbi Ramli. Toeri Dasar Akutansi Syariah. (Jakarta:Renaisan 2005), hal,63
[13] M.Shiddiq al-Jawi, Op.Cit.
[14]http://Ayok.wordpress.com diunduh pada 8 Maret 2014
[15] Syafi’i antonio, Islamic banking Bank Syari’ah “Dari Teori ke Praktik” Cet-1 Jakarta :Gema Insani, hlm:117, 2001
[16] Slamet Wiyono, Cara Mudah Memahami Akuntansi Perbankan Syariah Berdasarkan PSAK dan PAPSI, PT. Grasindo, Jakarta, 2005, h. 46
[17] Ibid, h. 45-46
[18] M. Syafi’I Antonio, Op.Cit, h. 119
[19] Nasrulloh, Akad Ijarah Muntahia Bittamlik dalam Perspektif Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar