“LEASING DALAM PERSPEKTIF ISLAM”
Dosen Pengampu : H. Ahmad Khumaidi Ja’far, S.Ag., M.H.
(Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqh
Mu’amalah II)
Disusun Oleh :
Muhammad Nurdin :
1221040158
Pande Jasa Duhita :
1221040145
Rista Pesilia :
1121040094

PRODI EKONOMI SYARI’AH
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI RADEN INTAN
LAMPUNG
1434 H/2014
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr wb.
Segala puji bagi Allah SWT
yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga tugas makalah yang
berjudul “Leasing dalam Perspektif Islam” dapat terealisasikan dengan
baik. Shalawat dan salam senatiasa dipanjatkan kepada junjungan Nabi agung
Muhammad SAW sebagai Uswatun Hasanah bagi hidup dan kehidupan kita di muka bumi
ini.
Makalah ini merupakan
tugas mata kuliah “Fiqh Mu’amalah II” yang merupakan inovasi pembelajaran untuk memahami
penelitian secara mendalam, dalam hal ini mengenai harta. Semoga makalah ini
dapat berguna untuk Mahasiswa pada umumnya.
Saya ingin mengucapkan
terima kasih kepada Bp. H. A. Khumaidi Ja’far, S.Ag., M.H. selaku dosen
mata kuliah Fiqh Mu’amalah II atas bimbingan dan pengarahannya selama
penyusunan makalah ini, serta pihak-pihak yang telah membantu sehingga tugas
makalah ini telah terselesaikan.
Penulis juga menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu, kami sangat membutuhkan
kritik dan saran yang sifatnya membangun dan pada intinya untuk
memperbaiki kekurangan-kekurangan supaya dimasa yang akan datang lebih baik
lagi.
Wassalamualaikum wr wb..
Bandar
Lampung, 30 Maret 2014
Penulis
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................... ii
DAFTAR ISI .............................................................................................. iii
BAB
I PENDAHULUAN ........................................................................
1.1 Latar belakang Masalah ............................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ..................................................................... 2
1.3 Tujuan Masalah ......................................................................... 2
BAB
II PEMBAHASAN ..........................................................................
2.1. Pengertian Leasing.................................................................... 3
2.2 Ketentuan dan Aplikasi
mengenai Leasing............................... 5
2.3 Kegiatan Usaha Leasing............................................................ 6
2.4 Keuntungan dan Kelemahan Leasing........................................ 7
2.5 Tijauan Hukum Leasing Menurut Syara’................................... 8
2.6 Al-Ijarah Al-Muntahia Bit-Tamlik............................................. 13
2.6.1 Manfaat dan Risiko yang harus
Diantisipasi.................... 14
2.6.2 Bentuk al-ijaroh al-muntahia bit-tamlik........................... 14
2.6.3 Aplikasi dalam Perbankan................................................ 15
BAB III PENUTUP ..................................................................................
3.1 Kesimpulan ................................................................................ 17
3.2
Saran.......................................................................................... 17
DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG MASALAH
Dewasa
ini, menjadi wirausaha merupakan pilihan alternative bagi para pencari kerja
dalam memenuhi tuntutan hidup. Usaha tersebut bisa diciptakan dalam bentuk
industry rumah tangga (home industry), industry kecil menengah (mikro),
maupun perusahaan dalam skala makro. Namun, minat menjadi wirausaha kerap kali
terbentur dengan masalah modal pengadaan alat, sarana prasarana usaha yang
terbilang tidak kecil ongkosnya.
Demikian
pula sifat konsumtif yang merebak di kalangan masyarakat dalam memenuhi hajat
hidupnya, membuat mereka menempuh beberapa jalan yang sebenarnya tidak
diperkenankan oleh syara’, bahkan merugikan mereka di kemudian hari. Salah satu
jalan tersebut adalah financial lease atau yang sering disebut leasing
untuk mendapatkan modal usaha atau hanya
sekedar memenuhi kebutuhan kerja (seperti membeli mobil, sepeda motor, dsb).
Ketika mereka terjebak dalam situasi yang sulit, sehingga tidak bisa membayar
uang cicilan, akhirnya barang/modal yang semula diharapkan memberi keuntungan
malah raib diambil kembali oleh pihak bank/ perusahaan leasing.
Bank
Syariah yang memiliki misi mewujudkan keadilan dan kesejahteraan ekonomi sosial,
memiliki peran strategis dalam menanggapi permasalahan tersebut. Dengan berpedoman
pada nilai-nilai Islam, Bank Syariah memberikan alternative terhadap
praktik-praktik ekonomi yang dilarang oleh syariat, namun sudah menjadi budaya
dan kebutuhan masyarakat. Salah satunya adalah alternative bank syariah
terhadap transaksi leasing.
Leasing secara global ada dua, yaitu operating lease dan financial lease.
Operating lease adalah menyewa suatu barang untuk mendapatkan manfaat barang
yang disewa, sedangkan kepemilikan barang tetap di tangan pemberi sewa.
Adapun financial lease merupakan suatu bentuk sewa dimana kepemilikan
barang berpindah dari pihak pemberi sewa kepada penyewa. Bila dalam masa akhir
sewa pihak penyewa tidak dapat melunasi sewanya, barang tersebut tetap milik
pemberi sewa (perusahaan leasing), akadnya dianggap sebagai akad sewa.
Sedangkan bila pada masa akhir sewa pihak penyewa dapat melunasi cicilannya,
barang tersebut menjadi milik penyewa. Biasanya pengalihan pemilikan ini dengan
alasan hadiah pada akhir penyewaan, pemberian cuma-cuma, atau janji dan alasan
lainnya. Intinya, dalam financial lease terdapat dua proses akad sekaligus :
sewa sekaligus beli. Dan inilah sebabnya mengapa leasing bentuk ini disebut
sebagai sewa-beli. Istilah leasing, pada umumnya diartikan masyarakat sebagai
financial lease atau sewa-beli ini (MR. Kurnia, Hukum Seputar Leasing, 1999).
Leasing dalam arti financial lease (sewa beli) adalah akad yang batil,
karena bertentangan dengan sabda Rasulullah SAW yang melarang terjadinya dua
akad berbeda dalam satu akad. Imam Ahmad meriwayatkan bahwa “Rasulullah SAW
melarang (kaum muslimin) dua perjanjian dalam satu perjanjian“ (nahaa
rasulullah ‘an shafqatain fi shaqatin) (Taqiyuddin An-Nabhani,
Asy-Syakhsyiah Al-Islamiyah, II/263-264).
Syaikh An-Nabhani menafsirkan, bahwa makna hadits tersebut ialah Rasulullah
SAW melarang adanya dua akad pada satu akad saja (wujuudu ‘aqdain fi aqdin
wahidin). Syaikh An-Nabhani mencontohkan dua akad dalam satu akad, misalnya
seseorang berkata, “Saya menjual motor ini kepada Anda dengan harga 10 juta
rupiah dengan cicilan selama 2 tahun, tetapi bila di tengah jalan Anda tidak
dapat melunasinya, maka barang tersebut tetap menjadi milik saya dan uang yang
telah Anda berikan kepada saya dianggap uang sewa selama Anda menggunakannya.”
Di dalam muamalah ini sesungguhnya terdapat dua akad sekaligus, yaitu akad
jual-beli sekaligus akad sewa dalam satu akad saja. Semua ini bertentangan
hadits Rasulullah.
1.2 RUMUSAN MASALAH
- Apakah Pengertian Leasing?
- Bagaimana Hukum Leasing Menurut Syara’?
- Bagaimana Alternatif Leasing dalam Perbankan Syariah?
1.3 TUJUAN MASALAH
1.
Memahami leasing dalam perspektif
Islam
2.
Mengetahui dasar hukum mengenai leasing, baik dalam Sumber Islam
maupun per Undang-undangan
3.
Mengetahui penerapan leasing dalam
praktik kehidupan sehari-hari
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Leasing
Istilah
leasing berasal dari kata lease yang berarti sewa-menyewa. Dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, leasing
diistilahkan “sewa guna usaha”. Dalam Kepmenkeu No. 1169/KMK.01/1991 tentang
Kegiatan Sewa Guna Usaha (Leasing) disebutkan bahwa sewa guna usaha
adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal (misal mobil
atau mesin pabrik) selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara
berkala.[1]
Secara
umum leasing berarti equipment funding, yaitu pembiayaan
peralatan/barang modal untuk digunakan pada proses produksi suatu perusahaan
baik secara langsung maupun tidak langsung. Leasing juga berarti pembiayaan
perusahaan dalam bentuk penyediaan barang modal dengan pembayaran secara berkala
oleh perusahaan yang menggunakan barang modal tersebut, dan dapat membeli atau
memperpanjang jangka waktu berdasarkan nilai sisa.[2]
Perjanjian leasing tidak hanya sebatas
suatu kontrak atau persetujuan sewa yang
obyeknya berupa barang modal, dan pihak lessee memiliki hak opsi dengan harga
berdasarkan nilai sisa, namun lebih kompleks, karena dalam leasing dapat timbul hak beli, dan hal ini
sangat mendekati transaksi jual beli aktiva angsuran dan dapat pula
seperti sewa menyewa biasa. Leasing memiliki sejarah yang cukup panjang.
Meskipun
tidak diketahui secara pasti, namun diyakini kegiatan transaksi leasing ini
telah terjadi sejak tahun 2000 SM yang dilakukan oleh orang-orang Sumeria.
Sesuai dengan dokumen, pada awalnya transaksi leasing dilakukan oleh
orang-orang Sumeria yang dimulai dari peralatan pertanian, hak-hak penggunaan
tanah dan air sampai binatang ternak. Pada awalnya leasing merupakan usaha
pembiayaan peralatan, pertanahan dan peternakan.
Seiring dengan perkembangan
industri, manufaktur dan transportasi menjadikan bertambahnya obyek leasing di
Inggris. Di samping di Inggris, praktek pembiayaan dengan menggunakan leasing
di Amerika juga telah mulai dikenal sejak tahun 1970-an. Praktek leasing di
Amerika tumbuh dengan pesatnya setelah adanya pembangunan rel kereta api, yang
rata-rata pembiayaannya dilakukan dengan cara leasing. Selanjutnya kegiatan
usaha leasing menyebar ke berbagai negara dengan pesatnya setelah tahun
1950-an, khususnya di Eropa dan Amerika.[3]
Dalam
realitasnya, leasing merupakan suatu akad untuk menyewa sesuatu barang dalam
kurun waktu tertentu. Kegiatan leasing ini ada dua katagori global,
sebagaimana yang dijelaskan dalam Kepmenkeu No 1169/KMK.01/1991 yaitu operating
lease dan financial lease. Operating lease merupakan suatu proses
menyewa suatu barang untuk mendapatkan hanya manfaat barang yang disewanya,
tidak terjadi pemindahan kepemilikan (transfer of title) asset, baik di
awal maupun di akhir periode sewa. Sewa jenis pertama ini berpadanan dengan
konsep ijarah di dalam syariah.[4]
Adapun
financial leasse merupakan suatu bentuk sewa dimana di akhir periode sewa si
penyewa diberikan pilihan untuk membeli atau tidak membeli barang yang
disewakan. Namun, dalam prakteknya
(khususnya di Indonesia) sudah tidak ada hak opsi karena sudah “dikunci” di
awal periode. Sehingga jenis akadnya menjadi ganda, yakni bila dalam masa akhir
sewa pihak penyewa tidak dapat melunasi sewanya, barang tersebut tetap
merupakan milik pemberi sewa (perusahaan leasing). Akadnya dianggap sebagai
akad sewa. Sedangkan bila pada masa akhir sewa pihak penyewa dapat melunasi
cicilannya maka barang tersebut menjadi milik penyewa. Intinya, dalam financial
lease terdapat dua proses akad sekaligus : sewa sekaligus beli. Dan inilah
sebabnya mengapa leasing bentuk ini disebut sebagai sewa-beli.[5]
2.2 Ketentuan dan Aplikasi Mengenai
Leasing
Kegiatan
leasing secara resmi diperbolehkan beroperasi di Indonesia setelah keluar surat
keputusan bersama antara Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian, dan menteri
perdagangan Nomor Kep. 122/MK/IV/2/1974 Nomor 32/M/SK/2/74 dan Nomor
30/Kbp/1/74 tanggal 1 Februari Tentang Perizinan Usaha Leasing di Indonesia.
Wewenang
untuk memberikan usaha leasing dikeluarkan oleh Menteri Keuangan berdasarkan
Surat Keputusan Nomor 649/MK/IV/5/1974 tanggal 6 Mei 1974 yang mengatur
mengenai ketentuan tata cara perizinan dan kegiatan usaha leasing di Indonesia.
Perkembangan selanjutnya adalah dengan keluarnya
Kebijaksanaan Deregulasi 20 Desember 1988 (Pakdes) yang mengatur tentang usaha
leasing, merevisi ketentuan sebelumnya. Kemudian dalam Keppres No. 61 Tahun
1988 dan Keputusan Menteri Keuangan nomor 1251/KMK.013/1988 Tanggal 20 Desember
1988. Adapun landasan terkini adalah Keputusan Menteri Keuangan No.
1169/KMK.01/1991 tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha (Leasing).
Pihak-Pihak yang terlibat dalam
transaksi Leasing :
- Lessor, merupakan perusahaan leasing yang membiayai keinginan nasabahnya untuk memperoleh barang modal
- Lessee, yaitu nasabah yang mengajukan permohonan leasing kepada lessor untuk memperoleh barang modal yang diinginkan
- Supplier, yaitu pedagang yang menyediakan barang yang akan dileasingkan sesuai perjanjian antara lessor dengan lease. Dalam hal ini supplier juga dapat dapat bertindak sebagai lessor.
- Asuransi, merupakan perusahaan yang akan menanggung resiko terhadap perjanjian antara lessor dan lessee.[6]
Transaksi leasing yang biasa terjadi
adalah sebagai berikut (misal leasing motor): seorang (misal fulan)
datang ke lembaga pembiayaan dan ingin membeli motor secara kredit karena tak
punya uang tunai. Lembaga pembiayaan membeli motor dari suplier/dealer motor,
lalu dilakukan akad leasing antara lembaga pembiayaan dengan Fulan
misalnya dalam jangka waktu tiga tahun. Dalam akad leasing itu terdapat
fakta transaksi sebagai berikut:
Pertama, lessor (lembaga
pembiayaan) sepakat setelah motor itu dia beli dari dealer/suplier, dia sewakan
kepada lessee selama jangka waktu tiga tahun. Kedua,
lessor sepakat setelah seluruh angsuran lunas dibayar dalam jangka waktu
tiga tahun, lessee (Fulan) langsung memiliki motor tersebut. Ketiga,
menurut fakta leasing yang ada, selama angsuran belum lunas dalam
jangka tiga tahun itu motor tetap milik lessor. Keempat, motor
itu dijadikan jaminan secara fudisia untuk leasing
tersebut. Karena itu BPKB motor itu tetap berada di tangan lessor hingga
seluruh angsuran lunas. Konsekuensinya jika lessee (Fulan) tidak sanggup
membayar angsuran sampai lunas, motor akan ditarik oleh lessor dan
dijual.[7]
Adapun biaya-biaya yang dibebankan
kepada lessee biasanya terdiri dari:
- Biaya administrasi yang besarnya dihitung per tahun
- Biaya material untuk perjanjian
- Biaya bunga terhadap barang yang dileasekan
- Premi asuransi yang disetorkan kepada pihak asuransi[8]
2.3 Kegiatan Usaha Leasing
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan
antara satu perusahaan leasing dengan perusahaan leasing lainya dapat berbeda.
Di dalam surat keputusan menteri keuangan no.1169/KMK.01/1991 tanggal 21
november 1991, kegiatan leasing dapat dilakukan dengan dua cara,yaitu :
1.
Melakukan
sewa guna usaha dengan hak opsi bagi lessee (finance lease);
2.
Melakukan
sewa guna usaha dengan tanpa hak opsi bagi lessee (operating lease)
Ciri-ciri kegiatan leasing seperti
yang dimaksud di atas adalah sebagai berikut.
1.
Kriteria
untuk finance lease apabila suatu
perusahaan leasing memenuhi persyaratan :
a.
Jumlah
pembayaran sewa guna usaha dan selama masa sewa guna usaha pertama
kali,ditambah dengan nilai sisa barang yang di lease harus dapat menutupi harga
perolehan barang modal barang yang dileasekan dan keuntungan bagi pihak lessor.
b.
Dalam
perjanjian sewa guna usaha memuat ketentuan mengenai hak opsi bagi lessee.
2.
Sedangkan
kinerja untuk operating leasse adalah memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a.
Jumlah
pembayaran selama massa leasing pertama tidak dapat mennutupi harga perolehan
barang modal yang dileasekan ditambah keuntungan bagi pihak leasor
b.
Di
dalam perjanjian leasing tidak memuat mengenai hak opsi bagi lessee
Kemudian dalam
praktiknya transaksi finance leasing dibagi lagi kedalam bentuk-bentuk
sbb:
1.
Direct
finance lease
Transaksi ini dikenal dengan nama true
lease dimana didalam transaksi ini pihak lessor membeli barang modal atas
permintaan lessee dan sekaligus menyewagunakan barang tersebut kepada lessee.
Lessee dapat menentukan spesififkasi barang yang diinginkan termasuk penentuan
harga dan suppliernya. Oleh kaena itu
proses pembelian yang dilakukan lessor hanya untuk memenuhi kebutuhan pihak
lessee.
2.
Sales
dan lease back
Proses ini dilkukan
dimana pihak lessee menjual barang modalnya kepada lessor untuk dilakukan
kontrak sewa guna usaha atas barang tersebut.antara lessee dan lessor.metode
ini biasanya digunaka untuk menambah modal kerja pihak lessee.
Sedangkan operating
lease dimana pihak lessor sengaja membeli barang modal untuk kemudian
dileasekan kepada pihak lessee.biaya yang dikenakan terhadap lessee adalah
biaya yang dikenakan untuk memperoleh barang yang dibutuhkan oleh lessee
berikut bunganya.[9]
2.4 Keuntungan dan Kelemahan Leasing
Leasing sebagai alternative pembiayaan memiliki beberapa keuntungan
dibandingkan dengan sumber pembiayaan lainnya, antara lain :[10]
a.
Menghemat
modal
Dengan adanya sistem
pebiayaan dari leasing, maka lessee dapat mendapatkan dana untuk membeli barag
modal hingga sebesar 100% dari harga barang tersebut seingga lessee dapat
memanfaatkan modal yang sudah ada untuk keperluan lain.
b.
Fleksibel
merupakan ciri utama bagi kelebihan leasing dibandingkan kredit dari bank,baik
fleksibel dari sisi struktur kontraknya,besarnya pembayaran rental,jangka waktu
pembayaran,serta nilai residunya.
c.
Dokumentasi
Sederhana
Leasing biasanya menggunakan dokumentasi yang sudah standar.hal ini
menjadikan lessee lebih simple dalam melakukan transaksi leasing.
d.
Pembiayaan
proyek berskala besar
Adanya keengganan untuk memikul resiko investasi dalam pembiayaan
yang sering kali menjadi masalah diantara
pembarian dana,biasanya dapat diatasi melalui perusahaan leasing sepanjang
tersedianya suatu jaminan penuh yang dapat diterima serta kemudahan untuk
menguasai barang yang dibiayai apabila terjadi suatu kelalaian.
e.
Cara
memperoleh barang modal dipermudah
f.
Mengurangi
resiko inflasi
g.
Terlindumg
dari resiko keusangan atau kemajuan tekhnologi
Dengan
memanfaatkan leasing, lessee dapat terhindar dari risiko akibat barang yang
disewa tersebut mengalami ketinggalan model dan tekhnologi. Dalam suatu kontrak
leasing,objek leasing sering dimasukan dalam perjanjian bahwa barang yang
sedang disewa tersebut dapat ditukar dengan barang serupa yang lebih canggih
paabila kemudian hari tedapat penemuan-penemuan yang lebih baik daripada produk
barang yang sejenis.
Dari
beberapa keuntungan tersebut masih banyak lagi keuntungan dari leasing, adapun
kerugian dari leasing adalah sbb :
a.
Leasing
tidak menguntungkan dalam hal kelebihan uang tunai
b.
Leasing
menghilangkan kebanggan pemilik
c.
Leasing
mungkin memerlukan biaya yang lebih besar dari pada dengan cara lain
d.
Lessee
mungkin menimbulakan kehilangan atas nilai sisa dari barang modal
2.5. Tinjauan Hukum Leasing Menurut
Syara[11]
Jenis
Operating Lease atau dalam istilah muamalah “Ijarah”, dibolehkan oleh
syara’ dengan dasar hukum:
1.
Al-Qur’an
:
QS. Al-Baqarah 233
وَإِنْ أَرَدْتُمْ أَنْ تَسْتَرْضِعُوا أَوْلادَكُمْ
فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُمْ مَا آتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوفِ
وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ (٢٣٣)
Dan jika kamu ingin anakmu disusukan
oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran
menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah
Maha melihat apa yang kamu kerjakan. (QS.Al-Baqarah: 233)
Yang
menjadi dalil dari ayat tersebut di atas
adalah ungkapan “apabila kamu memberikan pembayaran yang patut”. Ungkapan
tersebut menunjukkan adanya jasa yang diberikan berkat kewajiban membayar upah
(fee) secara patut. Dalam hal ini termasuk didalamnya jasa penyewaan atau
leasing.[12]
2.
Hadits
رَوَاهُ
ابْنُ عَبَّاسِ أَنَّ النَّبِيَّ ص.م. احْتَجَمَ وَاَعْطَى الحَجَّامَ أَجْرَهُ
(رَوَاهُ أَحْمَد والبخارى ومسلم)
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa
Rasulullah saw bersabda, “Berbekamlah kamu, kemudian berilah olehmu upahnya
kepada tukang bekam itu (HR. Bukhari Muslim)
3.
Ijma’
Pakar-pakar keilmuan dan cendikiawan
sepanjang sejarah diseluruh negeri telah sepakat akan legitimasi ijarah (Mugni
Ibnu Qudamah)[13]
Adapun
mengenai jenis Financial Leasing, terdapat beberapa fakta yang menunjukkan
keharaman transaksi ini, yaitu:
Pertama, dalam leasing
terdapat penggabungan dua akad, yaitu sewa menyewa dan jual beli, menjadi satu
akad (akad leasing). Padahal syara’ telah melarang penggabungan akad
menjadi satu akad. Ibnu Mas’ud RA:
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ عَنْ
صَفْقَتَيْنِ فِي صَفْقَةٍ وَاحِدَةٍ
“Nabi SAW melarang dua kesepakatan
dalam satu kesepakatan (Shafqatain fi shafqatin wahidah)” (HR. Ahmad, Al
Musnad, I/398). Menurut Imam Taqiyuddin an Nabhani hadits ini melarang
adanya dua akad dalam satu akad, misalnya menggabungkan dua akad jual beli
menjadi satu akad, atau akad jual beli digabung dengan akad ijarah. (Al
Syakhshiyah Al Islamiyah, II/308).
Kedua, dalam akad leasing
biasanya terdapat bunga. Maka harga sewa yang dibayar per bulan oleh lesse
bisa jadi dengan jumlah tetap (tanpa bunga), namun bisa jadi harga sewanya
berubah-ubah sesuai dengan suku bunga pinjaman. Maka leasing dengan
bunga seperti ini hukumnya haram, karena bunga termasuk riba (QS Al Baqarah [2]
: 275).
Ketiga, dalam akad
leasing terjadi akad jaminan yang tidak sah, yaitu menjaminkan barang
yang sedang menjadi obyek jual beli. Imam Ibnu Hajar Al-Haitami berkata, “Tidak
boleh jual beli dengan syarat menjaminkan barang yang dibeli.: (Al Fatawa al
Fiqhiyah al Kubra, 2/287). Imam Ibnu Hazm berkata, ” Tidak boleh menjual
suatu barang dengan syarat menjadikan barang itu sebagai jaminan atas harganya.
Kalau jual beli sudah terlanjur terjadi, harus dibatalkan.” (Al Muhalla,
3/437). Dalam hadits juga disebutkan:
لاَ يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ وَلاَ شُرْطَانُ فِيْ
بَيْعٍ، وَلاَ رِبْحٌ مَا لَمْ يُضْمَنْ، وَلاَ بَيْعٌ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ
Tidak halal salaf dan jual beli,
tidak halal dua syarat dalam satu jual beli, tidak halal keuntungan selama
(barang) belum didalam tanggungan dan tidak halal menjual apa yang bukan
milikmu (HR. an-Nasa’i, at-Tirmidzi dan ad-Daruquthni)
Berdasarkan tiga alasan di atas,
maka leasing dengan hak opsi (finance lease), atau yang dikenal
dengan sebutan leasing saja, hukumnya haram.
Beberapa Persoalan dalam Sewa-Beli
Merujuk pada kenyataan di atas,
nampak bahwa dalam sewa-beli terdapat dua bentuk muamalah yang berbeda dalam
satu proses yang bersamaan. Sewa sekaligus beli. Sampai di sini terdapat
minimal dua persoalan yang memerlukan kajian, yaitu perbedaan sewa dan beli,
serta kedudukan dua akad sekaligus dalam suatu proses muamalah.
Pertama, perbedaan sewa dan beli.Dalam hukum muamalah Islam sangat berbeda
antara sewa dengan beli.Sewa (ijarah) merupakan suatu akad untuk mendapatkan suatu
manfaat dari barang, jasa, ataupun orang dengan adanya kompensasi tertentu,
biasanya berupa uang (‘aqdun ‘alal manfaat bi ‘iwadh).Jadi, pihak penyewa
mendapatkan hanya manfaat yang dikandung oleh barang yang disewanya.Adapun
barangnya itu sendiri tetap merupakan hak milik pihak pemberi sewa.
Hal ini berbeda
sekali dengan jual beli. Secara syar’iy, jual-beli (al bai’) merupakan
mubadalatu malin bi malin tamlikan wa tamallukan ‘ala sabilit taradhi, yaitu
pertukaran antara suatu barang dengan barang lain (termasuk uang) untuk
pertukaran kepemilikan di atas dasar saling meridloi satu sama lain.
Berdasarkan hal ini, barang dari pihak penjual akan menjadi milik dari pihak
pembeli. Sebaliknya, uang atau barang (bila barter) dari pihak pembeli akan
langsung menjadi milik pihak penjual. Proses jual-beli ini, tentu saja, dapat
kontan dan bisa pula dilakukan dengan cicilan (kredit). Jelaslah, perbedaan
mendasar antara sewa dengan beli terletak pada siapa yang berhak memiliki
barang pada akhir masa transaksi.Dengan demikian, akad yang terjadi antara sewa
sangat berbeda dengan akad pada jual-beli.Akad sewa berkonsekuensi pada tetap
dimilikinya barang oleh pihak pemilik barang, sedangkan pihak penyewa hanya
boleh memanfaatkan barang tersebut selama masa penyewaan.Sedangkan akad
jual-beli berujung pada pertukaran kepemilikan dari penjual ke pembeli dan dari
pembeli ke penjual.
Kedua, Rasulullah SAW melarang dua akad berbeda terjadi dalam satu
aktivitas muamalah. “Rasulullah SAW melarang (kaum muslimin) dua akad dalam suatu
proses akad tertentu, “ demikian diriwayatkan oleh Imam Ahmad tentang larangan
Rasulullah SAW. Hadits ini maksudnya adalah tidak boleh seseorang melakukan dua
akad berbeda dalam suatu proses muamalah tertentu. Tidak boleh, misalnya,
seseorang menyatakan ‘Saya menjual rumah saya ini kepada Anda dengan syarat
Anda menjual rumah Anda yang di Puncak pada saya’, ‘Saya menjual perusahaan ini
pada Anda dengan catatan Anda menikahkan putri Anda kepada saya’, atau ‘Saya
menjual barang ini dengan harga 10 juta rupiah pada Anda dengan cicilan selama
2 tahun, tetapi bila di tengah jalan Anda tidak dapat melunasinya maka barang
tersebut tetap menjadi milik saya dan uang yang telah Anda berikan dianggap
sebagai sewa barang selama Anda menggunakannya.’ Di dalam muamalah tadi
terdapat dua akad sekaligus, menjual rumahnya sekaligus membeli rumah pembeli
rumahnya dalam satu akad, menjual perusahaan sekaligus menikahi putri pembeli
perusahaannya dengan hanya satu akad, dan jual-beli sekaligus sewa dalam satu
akad tertentu.Semua ini bertentangan dengan sikap Rasulullah SAW tadi.
Berdasarkan hal
ini nampaklah bahwa dalam muamalah financial leasing (yang secara umum dikenal
dengan istilah ‘leasing’ saja) terdapat dua akad sekaligus dalam satu proses
muamalah tertentu.Dan hal ini tidak sesuai dengan titah Rasulullah SAW.Padahal,
dalam syariat Islam, bila akad yang terjadi sewa maka tetap berlaku sewa sampai
batas akhir waktu penyewaan.Demikian pula, suatu akad jual-beli tetap sebagai
jual beli.Andaikan jual-beli itu dilakukan dengan mencicil dan pihak pembeli
belum dapat melunasi seluruh utang pembeliannya pada waktu yang telah
disepakati, akad tersebut tetap jual-beli dan tidak dapat dialihkan menjadi
akad apapun, termasuk diubah menjadi akad sewa.
Selain itu,
bila dilihat dari realitasnya, muamalah jenis ini nampak mengunggulkan pemberi
sewa (perusahaan leasing) dibandingkan dengan penyewa.Terlebih-lebih bila pihak
pembeli merasa mencicil barang dengan harga ‘pembelian’. Di tegah jalan, karena
sesuatu hal, ia tidak mampu melunasinya. Akhirnya, barang yang diangankan untuk
dimilikinya pada akhir cicilan nanti harus dikembalikan, dan ia hanya menyewa
saja. Padahal, tentu saja, harga sewa logisnya lebih kecil dibandingkan dengan
harga beli dengan cicilan.
Satu hal lagi,
persoalan leasing menjadi bertambah bila dalam cicilannya itu melibatkan riba
(bunga). Sebab, Allah SWT memfirmankan : “Dan Allah telah menghalalkan jual
beli serta mengharamkan seluruh riba” (QS. Al Baqarah [2] : 275).
Alternatif :
Allah SWT telah
menurunkan aturan yang memenuhi rasa keadilan manusia.Kaitannya dengan
jual-beli dengan kredit, syariat Islam telah menggariskan apa yang disebut
dengan Bai’ Bitsaman Ajil (BBA). Bai’ Bitsaman Ajil merupakan suatu proses
perjanjian jual untuk barang tertentu antara pemilik dan pembeli, dimana
pemilik barang akan menyerahkan barang seketika, sedangkan pembayaran dilakukan
dengan cicilan dalam jangka waktu yang disepakati bersama. Secara ringkas,
penjual dan pembeli menyepakati total harga barang tersebut, lama waktu
pembayarannya, dan pembayaran tiap bulannya tanpa disertai bunga. Sejak terjadi transaksi,
barang tersebut resmi menjadi milik pembeli, hanya saja ia menanggung hutang
seharga barang tersebut kepada pihak penjual. Untuk berjaga-jaga, dapat
ditentukan adanya barang jaminan, termasuk barang yang diperjualbelikan
tersebut.Bila pihak pembeli tidak dapat memenuhi kewajiban hutangnya dalam
waktu yang disepakati tidak dilakukan penentuan harga ulang (repricing) ataupun
pemberian sanksi.Salah satu jalan yang ditempuh adalah barang tadi (bila
sebagai jaminan) dijual.Hasilnya, sebagian digunakan untuk melunasi sisa
hutangnya dan, bila ada, sisanya diberikan kepada pihak pembeli.
Beberapa aturan
Allah SWT menegaskan hal ini, diantaranya :
1. Firman Allah SWT : “Dan Allah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba” (QS. Al Baqarah [2] : 275). Dalam ayat ini kata Al Bai’
bersifat umum.Artinya semua jual beli hukum asalnya halal kecuali ada nash-nash
yang menjelaskan keharamannya.
2. Imam Bukhari, Muslim, dan Nasai meriwayatkan bahwa Rasulullah
SAW pernah membeli bahan makanan dari seorang Yahudi dengan hutang dan beliau
memberikan baju besinya sebagai jaminan.
Jadi, ringkasnya, ada beberapa hal dalam
leasing yang tidak sesuai dengan syari’at Islam. Oleh karena itu, perlu ada muamalah
alternatif yang manfaat dan kegunaannya sama, serta legal menurut syari’at
Islam. Alternatif dimaksud adalah al bai’ bid dain (jual-beli dengan hutang)
yang salah satu turunannya adalah bai’ bitsaman ajil.[14]
2.6 Al-Ijarah Al-Muntahia Bit-Tamlik (Financial
Lease With Purchase Option ) sebagai Alternatif Leasing
Transaksi
yang disebut dengan al-ijaroh al-muntahia bit-tamlilk (IMB) adalah
sejenis perpaduan antara kontrak jual beli dan sewa atau lebih tepatnya akad
sewa yang diakhiri dengan lepemilikan barang ditangan sipenyewa. Sifat
pemindahan kepemilikan ini pula yang membedakan dengan ijarah biasa.[15]
Ijarah Muntahiyah Bittamlik (financial
lease with purchase option) adalah transaksi ijarah yang diikuti
perpindahan hak kepemilikan atas barang itu sendiri. IMBT di dalam Fatwa
MUI nomor: 27/DSN-MUI/III/2002 diartikan sebagai perjanjian sewa-menyewa yang
disertai dengan opsi pemindahan hak milik atas benda yang disewa, kepada
Penyewa, setelah selesai masa aqad ijarah. Transaksi IMBT
merupakan pengembangan transaksi iajrah untuk mengakomodasi kebutuhan
masyarakat, karena IMBT merupakan pengembangan transaksi ijarah,
maka ketentuannya mengikuti ketentuan ijarah.
Rukun Ijarah Muntahia bit-Tamlik meliputi
penyewa (musta’jir), pemberi sewa (mu’ajir), objek sewa (ma’jur),
harga sewa (ujrah), manfaat sewa (manfa’ah) dan ijab qabul (sighat).[16]
Adapun proses perpindahan
kepemilikan objek dalam transaksi IMB secara umum dapat dilakukan dengan
cara sebagai berikut:
- Hibah, yakni transaksi ijarah yang diakhiri dengan perpindahan kepemilikan barang secara hibah dari pemilik objek sewa kepada penyewa. Pilihan ini diambil bila kemampuan financial penyewa untuk membayar sewa relatif lebih besar. Sehingga akumulasi sewa di akhir periode sewa sudah mencukupi untuk menutup harga beli barang dan margin laba yang ditetapkan oleh bank
- Janji untuk menjual, yakni transaksi ijarah yang diikuti dengan janji menjual barang objek sewa dari pemilik objek sewa kepada penyewa dengan harga tertentu. Pilihan ini biasanya diambil bila kemampuan financial penyewa untuk membayar sewa relatif kecil. Karena sewa yang dibayarkan relatif kecil, maka akumulasi nilai sewa yang sudah dibayarkan sampai akhir periode sewa belum mencukupi harga beli barang tersebut dan margin laba yang ditetapkan oleh bank. Bila pihak penyewa ingin memiliki barang tersebut, maka ia harus membeli barang itu di akhir periode.[17]
2.6.1
Manfaat dan Risiko yang Harus Diantisipasi :
Manfaat dari transaksi al-ijarah
al-munthia bit-tamlik untuk bank adalah keuntungan sewa dan
kembalinya uang pokok.Adapun resiko yang mungkin terjadi dalam al-Ijarah
adalah sebagai berikut:
- Default; nasabah tidak membayar cicilan dengan sengaja.
- Rusak, asset ijarah rusak sehingga menyebabkan biaya pemeliharaan bertambah, terutama bila disebutkan dalam kontrak bahwa pemeliharaan harus dilakukan oleh bank.
- Berhenti; nasabah berhenti di tengah kontrak dan tidak mau membeli asset tersebut. Akibatnya, bank harus menghitung kembali keuntungan dan mengembalikan sebagian kepada nasabah.
2.6.2 Bentuk
al-ijarah al-muntahia bit-tamlik
Al-ijarah al-muntahia bit-tamlik
memiliki banyak bentuk, bergantung pada apa yang disepakati kedua pihak yang
dalam al-ijarah berkontrak. Misalnya, al-ijarah dan janj mejual;
nilai sewa yang mereka tentukan dalam al-ijarah; harga barang dalam
transaksi jua; dan kapan kepemilikan dipindahkan.
2.6.3
Aplikasi dalam Perbankan
Bank-bank Islam yang mengoprasikam
prodiuk ijarah dapat melakukan leasing, baik dalam bentuk operating
lease maupun financial lease. Akan tetapi, pada umumnya, bank-bank
tersebut lebih banyak menggunakan al-ijarah al-muntahia bit-tamlik karenalebih
sederhana dari sisi pembukuan. Selain itu, bank pun tidak direpotkan untukmengurus pemeliharaan
aset, baik pada saat leasing maupun sesudahnya.
Secara umum, aplikasi perbankan dari
al-ijarah dapat digambarkan dalam skema berikut ini.[18]
OBJEK
WISATA
|
NASABAH
|
PENJUAL SUPLIER
|
BANK
SYARIAH
|
Perbedaan antara leasing
konvensional dan Ijarah Muntahia Bittamlik:[19]
a.
Bidang Aset/Obyek
IMBT :
Aset selama
masa sewa menjadi pemilik Bank/ muajjir
Bank/muajjir
tetap menjadi pemilik aset setelah masa sewa berakhir, jika nasabah tidak
bersedia membuat akad pemindahan kepemilikan (dengan jual beli/hibah).
Konvensional
:
Sama seperti
dalam financial lease nasabah membeli aset dari supplier dengan dana pembiayaan
dari bank dan asset langsung dicatatkan atas nama nasabah.
Aset kemudian
dikontruksikan sebagai milik Bank ( karena dibeli dengan uang Bank) dan Bank
menyewakannya kepada nasabah.
b. Aqad/Perjanjian
IMBT :
perjanjian menggunakan dengan satu
akad dan satu wa’ad.(akadnya ijarah/sewa) dan wa’adnya jual beli atau hibah)
yang akan ditandatangani setelah ijarah berakhir( jika nasabah menghendaki), maka
perlu dilampirkan konsep perjanjian jual beli/hibah. Juga dilampirkan
konsep kuasa kepada bank untuk menjual aset jika pada akhir masa ijarah
nasabah tidak menginginkan aset.
|
Konvensional
:
sewa dan
jual beli menjadi satu kesatuan dalam satu perjanjian.
c. Perpindahan Kepemilikan Objek
IMBT :
Bank/Muajjir dianggap pemilik dari obyek yang
disewakan logikanya banklah yang membeli barang dari suplier. Dan nasabah
untuk membeli barang atas surat kuasa dari bank
Konvensional :
Dalam financial lease tidak mengkontruksikan bahwa
lessorlah yang membeli barang dari suplier.
BAB III
PENUTUP
3. 1 KESIMPULAN
Leasing
merupakan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal (misal mobil
atau mesin pabrik) yang dibayar selama jangka waktu tertentu berdasarkan
pembayaran secara berkala. Bentuk kegiatan leasing dibedakan menjadi dua, yaitu
operating lease (yakni sewa beli tanpa hak opsi) dan financial lease (sewa
beli dengan hak opsi. Operating lease dalam istilah fiqih sama dengan ijarah,
sedangkan praktik financial lease yang sudah disesuaikan dengan criteria
syara’ dinamakan al-Ijarah Muntahia bit Tamlik (IMBT).
Berdasarkan praktik dan realitanya dalam
kehidupan sehari-hari, financial lease menunjukkan keharaman transaksi,
dan para ulama sepakat financial lease (leasing konvensional) hukumnya
haram.
IMBT
memiliki alternative dalam pemindahan hak milik di akhir periode sewa,
yakni hibah, atau janji menjual. Pilihan hibah diambil ketika penyewa mampu
membayar uang sewa dalam jumlah besar. Kalau kemampuan penyewa hanya bisa
membayar dalam jumlah kecil, pilihan jual beli menjadi solusinya.
3.2 SARAN
Demikian makalah ini disusun.
Terima kasih atas antusias dari pembaca yang telah sudi menelaah dan
mengimplementasikan isi makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan
kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau
referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini. Tetapi kami telah
berusaha untuk menelaah tentang materi ini. Penulis banyak berharap para pembaca untuk
memberikan saran dan kritik konstruktif kepada penulis demi kesempurnaan
makalah ini dan makalah dikesempatan berikutnya yang akan membawa kepada suatu
kebenaran. Karna sesungguhnya kesempurnaan itu hanya milik Allah swt. Semoga
makalah ini berguna bagi kita semua dan khususnya bagi para pembaca yang
dirahmati Allah SWT. Amin
DAFTAR
PUSTAKA
Adiwarman Karim, Bank Islam:
Analisis Fiqih dan Keuangan. IIIT Indonesia, Jakarta, 2003, h. 111
Agus Waluyo Nur, Sistem
Pembiayaan Leasing di Perbankan Syariah, Jurnal Ekonomi Islam La Riba, 2007
Hasbi Ramli. Toeri Dasar Akutansi
Syariah. (Jakarta:Renaisan 2005), hal,63
Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan
Lainnya, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2002, h. 260
M Shiddiq Al Jawi, Hukum Leasing:
Media Umat edisi 77. http:// al-khilafah.org
M. Syafi’I Antonio, Bank Syariah
dari Teori ke Praktik, Gema Insani, Jakarta, 2001, h. 118
Nasrulloh, Akad Ijarah Muntahia
Bittamlik dalam Perspektif Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah
Slamet Wiyono, Cara Mudah
Memahami Akuntansi Perbankan Syariah Berdasarkan PSAK dan PAPSI, PT.
Grasindo, Jakarta, 2005, h. 46
[1]
Salinan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia no: 1169/KMK.01/1991
tentang Sewa Guna Usaha (Leasing) Bab I pasal 1.
[2]Ainun Naim. Akuntansi Keuangan 2. Yogyakarta: BPFE. 1992. hlm. 150.
[3] Agus Waluyo Nur, Sistem
Pembiayaan Leasing di Perbankan Syariah, Jurnal Ekonomi Islam La Riba, 2007
[4]
Adiwarman
Karim, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan. IIIT Indonesia, Jakarta,
2003, h. 111
[6]
Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, PT RajaGrafindo Persada,
Jakarta, 2002, h. 260
[9]Ibid,hlm
245-246
[10]Op
CIt,Veithzal,dkk.hlm395-397
[12] Hasbi Ramli. Toeri
Dasar Akutansi Syariah. (Jakarta:Renaisan 2005), hal,63
[13] M.Shiddiq al-Jawi,
Op.Cit.
[14]http://Ayok.wordpress.com diunduh pada 8
Maret 2014
[15] Syafi’i
antonio, Islamic banking Bank Syari’ah “Dari Teori ke Praktik” Cet-1
Jakarta :Gema Insani, hlm:117, 2001
[16]
Slamet Wiyono, Cara Mudah Memahami Akuntansi Perbankan Syariah
Berdasarkan PSAK dan PAPSI, PT. Grasindo, Jakarta, 2005, h. 46
[18] M. Syafi’I Antonio, Op.Cit, h. 119
[19] Nasrulloh, Akad
Ijarah Muntahia Bittamlik dalam Perspektif Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar